Kota malang seperti
kota-kota lain di Indonesia pada umumnya baru tumbuh dan berkembang setelah
hadirnya pemerintah kolonial Belanda. Fasilitas umum di rencanakan sedemikian
rupa agar memenuhi kebutuhan keluarga Belanda. Kesan diskriminatif itu masih
berbekas hingga sekarang. Misalnya Ijen Boulevard kawasan sekitarnya. hanya
dinikmati oleh keluarga- keluarga Belanda dan Bangsa Eropa lainnya, sementara
penduduk pribumi harus puas bertempat tinggal di pinggiran kota dengan
fasilitas yang kurang memadai. Kawasan perumahan itu sekarang bagai monumen
yang menyimpan misteri dan seringkali mengundang keluarga-keluarga Belanda yang
pernah bermukim disana untuk bernostalgia.
Pada
Tahun 1879, di Kota Malang mulai beroperasi kereta api dan sejak itu Kota
Malang berkembang dengan pesatnya. Berbagai kebutuhan masyarakatpun semakin
meningkat terutama akan ruang gerak melakukan berbagai kegiatan. Akibatnya
terjadilah perubahan tata guna tanah, daerah yang terbangun bermunculan tanpa
terkendali. Perubahan fungsi lahan mengalami perubahan sangat pesat, seperti
dari fungsi pertanian menjadi perumahan dan industri.
Sejalan
perkembangan tersebut di atas, urbanisasi terus berlangsung dan kebutuhan
masyarakat akan perumahan meningkat di luar kemampuan pemerintah, sementara
tingkat ekonomi urbanis sangat terbatas, yang selanjutnya akan berakibat
timbulnya perumahan-perumahan liar yang pada umumnya berkembang di sekitar
daerah perdagangan, di sepanjang jalur hijau, sekitar sungai, rel kereta api
dan lahan-lahan yang dianggap tidak bertuan. Selang beberapa lama kemudian
daerah itu menjadi perkampungan, dan degradasi kualitas lingkungan hidup mulai
terjadi dengan segala dampak bawaannya. Gejala-gejala itu cenderung terus
meningkat, dan sulit dibayangkan apa yang terjadi seandainya masalah itu
diabaikan.